Skip to content
Menu
Kisah Kecil dari Palembang
  • Masa Lalu
  • Masa Kini
  • Gagasan
Kisah Kecil dari Palembang
ubud palace

Desa pakraman dan Usaha Pemulihan Marga

Posted on 01/11/202202/11/2022

Bali dengan sukses menunjukkan kepada kita bahwa desa adat dan desa administrasi bisa berjalan beriringan dalam kehidupan nyata bernegara dan kita di Sumatera Selatan bisa belajar dari mereka.

Saya sedang berada di sekitar Sanur pada suatu pagi sebelum pandemi untuk jalan-jalan pagi sambil mencari sarapan. Saat itu saya mendengar obrolan antara warga lokal dengan turis nusantara tentang berbagai hal, salah satunya tentang keamanan. Dalam perbincangan itu muncul satu kalimat menarik yang terlontar dari warga Sanur yang mengatakan bahwa di Bali Pecalang lebih ditakuti daripada Polisi.

Kalimat itu lalu diikuti dengan cerita tentang pelaku kejahatan yang terpergok oleh warga dan lalu kabur menyelamatkan diri ke kantor polisi agar tidak ditangkap oleh pecalang. Terlepas dari benar atau tidaknya cerita ini, namun kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa ada sosok selain polisi yang sangat ditakuti di Bali.

Pecalang yang disegani ini rupanya adalah petugas keamanan di desa adat. Pecalang diangkat oleh pemimpin desa adat dan memiliki tugas untuk menjaga ketertiban desa adat terutama pada saat acara adat sedang dilaksanakan. Setelah diangkat, Pecalang dilatih oleh polisi terkait dengan teknis menjaga ketertiban lingkungan.

Pecalang yang dihormati ini bisa hadir di tengah masyarakat Bali karena lestarinya desa adat. Desa adat yang disebut Pakraman ini diakui oleh pemerintah Provinsi Bali dan keberadaannya diatur melalui peraturan daerah.

Dalam perda itu, Desa Pakraman didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

Desa Pakraman ini ukurannya berbeda dengan desa administratif. Ada satu Desa Pakraman yang seukuran dengan satu desa administratif dan ada pula satu Desa Pakraman yang setara dengan beberapa desa administratif. Sebaliknya, ada juga satu desa administratif yang terdiri dari beberapa Desa Pakraman. Perbedaan ukuran ini mungkin terjadi karena Desa Pakraman dibentuk oleh batas budaya sedangkan batas desa administratif dibentuk berdasarkan kepraktisan geografis.

Suasana di dalam salah satu pura di kawasan Ubud.

Ketika sudah dibentuk, Desa Pakraman memiliki tugas untuk membuat hukum adat; mengatur ketertiban desa; mengelola harta kekayaan desa; bersama pemerintah melaksanakan pembangunan di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan; dan membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali.

Desa Pakraman pun memiliki wewenang yang meliputi bolehnya menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya sesuai dengan hukum adat dan kebiasaan setempat; turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana; dan melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar Desa Pakraman.

Menilik isi perda tersebut maka dapat disimpukan bahwa Desa adat diakui oleh pemerintah Bali. Desa Adat ini memiliki wilayah yang berbeda dengan wilayah desa administrasi. Dalam wilayah itu, pengurus desa adat dapat melaksanakan tugasnya untuk menjaga ketertiban dan menyelesaikan masalah berdasarkan hukum adat.

Pekerjaan desa adat Pakraman tidak bertabrakan dengan pekerjaan desa administrasi. Desa administrasi melayani warga yang hendak membuat Kartu keluarga, surat pengantar, dan masalah administrasi kenegaraan lainnya, sedangkan desa adat Pakraman melayani warga dalam urusan pelaksanaan upacara adat, perselisihan adat, dan hal lain terkait adat istiadat setempat.

Lestarinya desa adat mungkin adalah sebab terbesar kenapa sampai hari ini budaya di Bali bukan hanya lestari tetapi tetap mengakar kuat. Bali bukan hanya menjadi contoh yang baik sekali untuk kasus pariwisata berbasis budaya tetapi Bali juga bisa menjadi contoh yang baik sekali mengenai melestarikan sistem pemerintahan adat dalam cara yang selaras dengan sistem pemerintahan modern.

Dari Bali kita bisa belajar bahwa menjalankan sistem pemerintahan adat bukanlah ancaman bagi kedaulatan Negara Indonesia. Kekayaan budaya nusantara mestinya djaga dan dilestarikan, bukan malah dicurigai sebagai hal yang akan merusak tatanan bernegara.

Semoga usaha untuk memulihkan kembali lembaga marga dapat berjalan dengan lancar sehingga nilai luhur budaya Melayu Sumatera Selatan dapat kembali berkibar.

1 thought on “Desa pakraman dan Usaha Pemulihan Marga”

  1. Anita says:
    02/11/2022 at 08:23

    Terimakasih mas robby, tulisannya bagus, ringan tapi bernas 👍👍

    Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Mengenai Robby Sunata
November 2022
M T W T F S S
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
282930  
« Aug   May »
  • April 2025
  • March 2025
  • February 2025
  • January 2025
  • October 2024
  • August 2024
  • July 2024
  • June 2024
  • May 2023
  • November 2022
  • August 2022
  • May 2022
  • March 2022
  • February 2022
  • January 2022
  • December 2021
  • August 2021
  • July 2021
  • February 2021
  • January 2021
  • December 2020
  • November 2020
  • July 2020
  • June 2020
  • May 2020
  • April 2020
  • March 2020
  • February 2020
  • May 2017
  • March 2017
  • January 2017
  • November 2016
  • October 2016
  • September 2016
  • August 2016
  • May 2016
  • March 2016
  • January 2016
  • November 2014
  • April 2014
  • March 2014
  • January 2014
  • May 2010
©2025 Kisah Kecil dari Palembang | WordPress Theme by Superbthemes.com