Kampung Cina di Palembang berpindah-pindah tempat sepanjang masa, meninggalkan jejak yang bisa dilihat sampai sekarang. Jejak itu membentuk pola yang menarik ketika dibandingkan dengan posisi tempat lain yang penting di Palembang, yaitu Keraton Kesultanan Palembang. Pola itu mungkin menunjukkan hubungan ekonomi yang terjadi antara masyarakat Tionghoa dan Sultan Palembang.
Lokasi kampung Cina pertama di Palembang yang tercatat dalam sejarah ada dalam sketsa yang dibuat setelah penyerangan Belanda kepada Palembang di tahun 1596. Sketsa itu menunjukkan kampung Cina berada di sekitar kawasan Tangga Takat.
Pada masa berikutnya, perkampungan orang Tionghoa berada di daerah 7 ulu dan 10 ulu. Kelenteng tertua di Palembang saat ini berada di Kawasan 10 ulu, ini bisa menjadi petunjuk bahwa permukiman yang dibangun lebih awal Adalah 10 ulu sehingga tempat ibadat dibangun disana, dan perkampungan 7 ulu dibangun di masa berikutnya, mungkin ketika 10 ulu dianggap sudah tidak mampu menampung pertumbuhan penduduk.
Ketika Belanda berkuasa di Palembang, Masyarakat Tionghoa yang tadinya hanya diizinkan tinggal di Seberang ulu, kini menjadi bisa menetap di seberang ilir.
Tiga lokasi permukiman Tionghoa yang disebut di awal tadi membentuk pola yang menarik ketika dibandingkan dengan 3 lokasi Keraton Kerajaan dan Kesultanan Palembang.
Keraton Kerajaan Palembang Adalah Kuto Gawang, letaknya kurang lebih di pabrik PT Pusri sekarang. Pada masa ini, permukiman masyarakat Tionghoa berada di sekitar kampung Tangga Takat, tepat di seberang Kuto Gawang.

Ketika Kuto Gawang habis dibakar oleh Belanda, ibukota Palembang pindah ke keraton Beringin Janggut. Pada masa ini, permukiman masyarakat Tionghoa berada di kampung 10 Ulu, tepat di seberang Keraton. Dalam kampung 10 ulu ini lalu didirikan rumah peribadatan yang sekarang menjadi kelenteng tertua di Palembang. Kampung Cina di Tangga Takat ditinggalkan sepenuhnya dan hari ini dihuni secara dominan oleh warga Arab dan Melayu.
Ketika keraton baru dibangun di Kuto Batu, permukiman Tionghoa kembali bergeser, kini ke kampung 7 Ulu. Lalu ketika Keraton baru Bernama Kuto Besak didirikan, permukiman tidak dipindahkan karena keraton baru ini berada tepat di sebelah Kuto Batu, dan masih berhadapan langsung dengan kampung 7 Ulu.
Posisi perkampungan Tionghoa yang selalu berada tepat di Seberang keraton Palembang memberi petunjuk mengenai usaha masyarakat Tionghoa untuk selalu berada dekat sekali dengan kekuasaan. Itu dilakukan mungkin karena alasan ekonomi, untuk mempermudah urusan perdagangan mereka di Palembang.
Pola permukiman ini mungkin telah berlangsung sejak lama, jauh sebelum masa Kuto Gawang berdiri dan mungkin bisa dipergunakan untuk menjelaskan posisi satu permukiman Tionghoa lain di Palembang.
Pada peta Palembang tahun 1877, terdapat keterangan mengenai adanya makam pemimpin Masyarakat Tionghoa di daerah 1 Ulu, di muara Sungai Ogan. Peta ini dibuat pada masa yang kurang lebih sama dengan masa hidup Kiai Merogan, seorang ulama Palembang berdarah separuh Tionghoa. Kiai Merogan sendiri mendirikan masjid di muara Sungai Ogan sebelah barat, di kampung Karang Berahi dan ketika wafat beliau dimakamkan di sebelah masjid tersebut.
Dengan begitu, pada muara Sungai Ogan terdapat dua makam tokoh Palembang berdarah Tionghoa, makam Kapitan di sisi timur dan makam ulama Ki Merogan di sisi barat. Hal ini membuat Sungai Ogan menjadi menarik untuk ditelisik. Dia sepertinya memiliki tempat khusus dalam masayarakat Tionghoa sehingga menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi dua tokoh mereka.
Posisi khusus itu mungkin dicapai karena pada masa yang tua sekali muara Sungai Ogan pernah menjadi permukiman bagi masyarakat Tionghoa Palembang, mungkin menjadi kampung Cina pertama, sehingga meski di masa berikutnya permukiman mereka telah pindah tetapi kaitan emosional itu masih ada dan membuat mereka secara naluriah ingin tinggal dan dimakamkan di tepi muara Sungai Ogan.
Sayangnya tidak terdapat informasi apakah benar pernah ada kampung Cina di 1 Ulu dan kapan berdirinya. Petunjuk yang ada hanya bersifat tidak langsung saja, yaitu berupa keberadaan Sungai Palembang di seberang kampung 1 Ulu dan Karang Berahi.

Sungai Palembang diduga adalah pusat kekuasaan pertama di Palembang sebelum pindah ke 1 Ilir dan dari nama sungai inilah didapat nama Palembang saat ini. Jika hal ini benar, maka tidak mengherankan bila masyarakat Tionghoa mendirikan perkampungan mereka di 1 Ulu, karena tempat itu berada tepat di seberang muara Sungai Palembang, lokasi pertama kota Palembang.
Akhirnya, letak Kampung Cina di Palembang mungkin bisa dijadikan petunjuk mengenai letak pusat kekuasaan Palembang, karena dia berpindah-pindah mengikuti perpindahan pusat kekuasaan Palembang. Ketika pusat kekausaan Palembang berada di Sungai Palembang, masyarakat Tionghoa mendirikan kampung di seberangnya, di muara Sungai Ogan. Saat ibukota berpindah ke Kuto Gawang, mereka mendirikan kampung tepat di seberangnya, di Tangga Takat. Ketika keraton kembali pindah ke Beringin Janggut, Kampung Cina didirikan di 10 Ulu, dan ketika Kuto Kecik dan Kuto Besak menjadi istana Sultan, Masyarakat Tionghoa pindah ke 7 Ulu.
Hal ini tentu saja perlu dibuktikan secara ilmiah, karena tulisan ini hanya hendak menyajikan pola yang didapat dari memerhatikan berbagai peta dan sketsa Palembang. Semoga tulisan ini dapat memicu teman-teman akademisi untuk melakukan penelitian.