Raden Fatah adalah pendiri kesultanan Demak, Kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa. Sosoknya digambarkan dalam karya sastra seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Tulisan ini akan mencoba mencari tahu sosok Raden Fatah dari sumber non-sastra Jawa.
Pertama ada dua catatan sejarah Melayu-Tionghoa dari Kelentang Talang di Cirebon dan Kelenteng Sam Po Kong di Semarang, secara bersama-sama keduanya disebut Kronik Tionghoa Semarang. Kronik ini dibuat mungkin sebagai catatan internal kelenteng oleh orang-orang Tionghoa yang tinggal di sekitarnya.
Portugal adalah salah satu bangsa Eropa pertama yang masuk ke Asia Tenggara. Mereka mencari tahu mengenai berbagai tempat di Asia Tenggara untuk kepentingan mereka sendiri dan menerbitkannya dalam sebuah buku berjudul Suma Oriental. Buku ini ditulis oleh Tome Pires mungkin diniatkan sebagai panduan untuk orang-orang Portugal dan Eropa yang hendak berdagang atau sekedar bertualang di kepulauan Melayu Asia Tenggara.
Menurut Tome Pires, Raden Fatah adalah anak seorang ksatria yang bijaksana dan cucu seorang pedagang dari Gresik, kota pelabuhan yang bertetangga dengan Surabaya. Raden Fatah memiliki hubungan yang erat dengan penguasa Jawa karena bapak dan kakeknya punya banyak anak perempuan yang menikah dengan patih-patih utama di Jawa. Kakek Raden Fatah dikabarkan pernah menjabat sebagai patih di Cirebon.
Kronik Tionghoa Semarang menyebut bahwa Jin Bun dan Kin San dibesarkan oleh Swan Liong di Palembang. Setelah dewasa, keduanya lalu pergi ke Ampel untuk memperdalam agama Islam. Jin Bun lalu membuka lahan baru di hutan Bintara dekat Semarang. Ketika Jin Bun diminta datang ke istana Majapahit, Raja Kertabumi merasa melihat kemiripan Jin Bun dengan dirinya sehingga mengakui Jin Bun sebagai anaknya sendiri. Jin Bun lalu akan mengumpulkan pengikut taat yang banyak di Bintara dan menyerang Majapahit sebanyak dua kali, secara efektif mengakhiri kehidupan kerajaan tersebut. Jin Bun mendirikan Kesultanan Demak dan menjadi Sultan pertamanya.
Ayah yang membesarkan Jin Bun adalah Swan Liong alias Ario Damar. Menurut Kronik Tionghoa Semarang, Swan Liong (Ario Damar) adalah seorang yang sangat mahir mempergunakan dan membuat mesiu, dia bahkan dipercaya sebagai kepala pabrik mesiu di Semarang. Dalam perang, Swan Liong pasti menjadi perwira yang penting karena bertanggung jawab atas persenjataan meriam dan amunisinya.
Tahun 1443 Swan Liong ditugaskan oleh Gan Eng Chu untuk menjadi kepala Masyarakat Tionghoa di Palembang. Gan Eng Chu adalah kepala Masyarakat Tiong Hoa di Jawa dan Palembang, dia melapor kepada Bong Tak Keng yang menjadi kepala Masyarakat Tionghoa di seluruh kepulauan Asia Tenggara. Swan Liong sepertinya memiliki kedewasaan dalam bersikap sehingga dipercaya oleh Gan Eng Chu untuk memimpin Palembang.
Hal yang menarik adalah, alih-alih berangkat ke Palembang langsung dari Semarang yang lebih dekat, menurut Kronik Tionghoa Semarang, Swan Liong malah memilih berangkat dari Gresik, yang 2 kali lebih jauh.
Ada apa dengan Gresik?
Gresik awalnya adalah kampung nelayan yang kecil dan sepi. Lalu Nyai Gede Pinatih datang kesana dan mengembangkannya menjadi pelabuhan besar yang ramai. Nyai Gede Pinatih lalu diangkat menjadi Syahbandar Gresik, konon oleh Raja Majapahit sendiri.
Nyai Gede Pinatih dikenal juga dengan nama Nyai Ageng Samboja dan dia menikah dengan sosok yang bernama Patih Samboja. Nama aslinya adalah Shi Daniang dan dia adalah anak dari Shi Jin Qing, kepala masyarakat Tionghoa di Palembang. Shi Jin Qing ini adalah warga Palembang yang membantu Laksamana Cheng Ho menumpas perompak di perairan Palembang. Shi Daniang pindah ke Gresik sekitar tahun 1440, 15 tahun sebelum Jin Bun lahir di Palembang. Masa hidupnya satu generasi dengan Swan Liong alias Ario Damar, dan satu generasi di atas Jin Bun alias Raden Fatah.
Dengan demikian Gresik dikembangkan oleh seorang Tionghoa Muslim yang berasal dari Palembang dan mungkin terdapat komunitas masyarakat Palembang-Tinghoa yang besar disana, yang mungkin datang bersama kedatangan Nyai Ageng Samboja atau malah lebih awal. Mungkin salah satu anggota rombongan ini adalah keluarga Swan Liong.
Demikian keluarga Raden Fatah dari sisi ayah dan kita lanjutkan ke keluarganya dari sisi ibu.
Kronik Tinghoa Semarang menyebut bahwa Jin Bun alias Raden Fatah adalah anak dari Perempuan Tionghoa yang menjadi dayang-dayang, atau selir, dan konon kabarnya adalah anak dari raja Kertabumi sendiri. Sewaktu Jin Bun membuka hutan Bintara, dia dipanggil ke istana Majapahit, Kertabumi yang melihat Jin Bun merasa ada kemiripan dengan dirinya sehingga menganggap Jin Bun adalah anaknya.
Tome Pires tidak menyinggung tentang ibu Raden Fatah dalam Suma Oriental, sehingga sumber kita tentang hal ini hanyalah dari Kronik Tionghoa Semarang. Kronik menyebut bila ibu Raden Fatah adalah seorang selir diikuti dengan kabar bahwa Jin Bun adalah anak dari Kertabumi. Penulis Kronik sepertinya tidak yakin mengenai hal itu sehingga menulisnya dengan kehati-hatian.
Slamet Muljana berusaha menjelaskan hal ini dengan menulis bahwa ibu dari Jin Bun adalah putri dari Bong Tak Keng, kepala Masyarakat tionghoa muslim di seluruh Asia Tenggara. Putri ini menikah dengan Ma Hong Fu yang kelak ditugaskan sebagai utusan Kekaisaran Tiongkok untuk Majapahit. Ma Hong Fu tinggal di ibukota Majapahit dan istrinya, anak Bong Tak Keng, meninggal dan dimakamkan disana. Istri Ma Hong Fu ini yang mungkin keliru dipahami oleh penulis serat, babad, dan kronik, yang ditulis dua ratus tahun kemudian di abad ke-18, sebagai selir raja Majapahit.
Menurut kami, Ibu dari Jin Bun adalah istri Swan Liong sendiri, sesama muslim tionghoa di Jawa.
Sebagai orang Tionghoa muslim yang lahir di Palembang dan lalu berkuasa di Jawa, Raden Fatah memerlukan pengesahan dari silsilah keturunan agar tidak dianggap asing oleh masyarakat Hindu-Buddha Jawa yang dia pimpin dalam Kerajaan yang baru dia bangun, disinilah lahir kisah yang mengaitkan dirinya dengan penguasa terakhir di jawa sebelum dirinya naik kuasa.
Semoga di masa depan ditemukan manuskrip-manuskrip kuno yang bisa memperjelas identitas Jin Bun alias Raden Fatah.