Mengamati prasasti di Jawa antara abad lima sampai 11 masehi memberikan gambaran yang menarik mengenai pergerakan pusat kebudayaan di pulau itu.
Terdapat 38 buah prasasti yang dibuat di pulau Jawa antara tahun 400 sampai tahun 1100 masehi. Angka itu adalah jumlah prasasti yang telah dipublikasikan dan dapat dilihat informasinya pada laman milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada masa lalu, prasasti didirikan dengan tujuan sebagai alat pengumuman dari seorang penguasa kepada para warganya. Prasasti dapat berisi pengumuman mengenai beberapa hal, termasuk mengenai pendirian suatu bangunan, fasilitas umum, hadiah tanah, dan sumpah setia.
Prasasti dibuat atas perintah penguasa dan dikerjakan oleh juru tulis istana. Pada masa kuno, tidak banyak orang yang mampu membaca dan jumlah orang yang bisa menulis bahkan jauh lebih sedikit lagi. Jumlah orang dengan kemampuan baca dan tulis yang terbatas itu berimbas kepada jumlah catatan tertulis yang ditinggalkan, baik dalam bentuk prasasti dan karya sastra. Dari tahun 400 sampai tahun 1100 masehi hanya terdapat 38 prasasti di pulau Jawa.
38 buah prasasti itu lalu dikelompokkan berdasarkan abad pembuatan dan lokasi didirikan. Hasilnya lalu dijadikan bahan untuk membuat sebuah grafis sederhana agar data yang tersedia dapat dilihat dalam bentuk gambar.
Pada tahun 400-an, hanya terdapat lima buah prasasti di seluruh Jawa yang semua berada di Jawa sebelah barat dan mempergunakan bahasa Sansekerta. Daerah yang sekarang berada di sekitar Bogor menjadi tempat yang aktif dengan mengeluarkan tiga buah prasasti. Di bagian barat Bogor terdapat pula sebuah prasasti, tepatnya di desa Lebak, Pandeglang, Banten. Satu prasasti lainnya berada di utara Bogor, yakni di tepi sungai Cakung, Koja, Jakarta Utara. Kelima prasasti ini diyakini berasal dari Kerajaan Tarumanegara.
Memperhatikan sebaran ini maka bisa disimpulkan bahwa pusat kebudayaan pulau Jawa pada abad kelima masehi berada di daerah sebelah barat, terutama di sekitar kota Bogor. Penguasa yang mengeluarkan kelima prasasti itu mungkin menguasai wilayah luas yang sekarang menjadi provinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Penguasa yang aktif mengeluarkan prasasti menunjukkan bahwa situasi di Jawa barat pada saat dia berkuasa sedang berada dalam kondisi yang cukup tenang. Pertanian dan perdagangan bisa berjalan lancar tanpa ada gangguan yang berarti sehingga dia bisa mengumpulkan uang yang banyak untuk mempekerjakan juru tulis istana dan memelihara pasukan yang memadai dan kuat untuk menjaga wilayahnya.
Bagian lain pulau Jawa belum menunjukkan adanya kegiatan ekonomi dan perdagangan yang sama aktifnya seperti di bagiann barat pulau. Penguasa disana juga mungkin tidak berkuasa atas wilayah yang luas dan penduduk yang banyak sehingga tidak merasa perlu untuk meninggalkan pengumuman yang terpahat di batu dan diletakkan di tempat umum. Semua informasi masih bisa disampaikan dari mulut ke mulut. Mungkin juga karena informasi yang hendak disampaikan tidak tergolong penting sehingga tidak harus ditulis di atas bahan yang bertahan lama seperti batu.
Pada abad berikutnya terjadi perubahan besar di Jawa. Antara tahun 501 sampai 600 masehi hanya terdapat dua prasasti di seluruh Jawa. Satu buah prasasti berada di bagian barat dan satu lainnya di bagian tengah. Keduanya mempergunakan bahasa Sansekerta. Bahasa ini sepertinya menjadi bahasa yang umum dipergunakan oleh kalangan istana sebagai bahasa administrasi kerajaan, mungkin karena bahasa Sansekerta dianggap sebagai ‘bahasa tinggi’ karena bahasa ini berkaitan dengan ajaran Hindu. Warga di luar istana mungkin mempergunakan bahasa asli setempat dalam kegiatan sehari-hari.
Satu-satunya prasasti di bagian barat didirikan di daerah yang sebelumnya aktif mengeluarkan prasasti, yakni Bogor. Sedangkan satu prasasti di daerah tengah Jawa berdiri di bagian pedalaman dekat Kota Magelang.
Jumlah prasasti di Jawa barat yang turun drastis memberi petunjuk adanya suatu peristiwa yang terjadi dan peristiwa itu memengaruhi situasi di Jawa barat sehingga membuat si penguasa terhalang untuk membuat prasasti. Halangan itu dapat terjadi secara ekonomi maupun secara politik. Gangguan atas perdagangan dapat memengaruhi pundi-pundi si penguasa dan mengurangi kemampuannya untuk membangun fasilitas umum dan memelihara sebuah pasukan yang kuat. Perang saudara atau serangan dari luar juga akan menguras waktum tenaga, dan harta si penguasa, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menerbitkan banyak prasasti.
Sebuah prasasti di pedalaman Jawa bagian tengah berisi sajak mengenai sumber mata air dan sungai suci. Prasasti itu mungkin dibuat oleh penguasa setempat untuk menyatakan tingginya status sebuah mata air atau dibuat oleh para pemuka agama setempat sebagai bagian dari ritual keagamaan.
Bagian timur Jawa masih belum menghasilkan prasasti sampai saat ini, bukan karena tidak dihuni orang tetapi mungkin karena sistem kehidupannya masih sederhana.
Abad ketujuh adalah abad kegelapan di pulau Jawa. Tidak ada satu pun prasasti yang terbit pada masa ini. Jawa barat semakin meredup dan Jawa tengah kembali tidak mengeluarkan prasasti. Sesuatu telah terjadi kepada penguasa Jawa barat sehingga membuat mereka tidak mampu mengeluarkan prasasti. Mereka mungkin kehilangan kekayaan atau kekuasaan, atau terlibat dalam peperangan yang terus menerus sehingga tidak memiliki waktu untuk menerbitkan prasasti. Sementara penguasa Jawa tengah kembali merasa tidak perlu membuat prasasti.
Jawa kembali aktif membuat prasasti pada abad kedelapan. Terdapat tujuh buah prasasti yang terbit pada masa ini dan semuanya berada di Jawa bagian tengah. Keenamnya terbagi dalam dua bahasa, yakni bahasa Melayu kuno, bahasa Sansekerta, dan untuk pertama kalinya, bahasa Jawa kuno. Satu prasasti terletak di pantai utara Jawa dekat Pekalongan, empat lainnya di sebelah utara Yogyakarta, satu lagi berada di selatan kota Semarang, dan satu yang terakhir berada di sebelah utara Surakarta.
Penguasa Jawa barat sepertinya telah kehilangan kemampuan atau kebutuhan mereka untuk mendirikan prasasti, sementara tatanan masyarakat di Jawa timur masih sederhana sehingga belum memerlukan sosok penguasa. Hal yang berbeda terjadi di Jawa bagian tengah. Masyarakat disana akhirnya telah berkembang. Pertanian dan persawahan telah meliputi lahan yang luas sehingga membuat para pemilik tanah menjadi orang yang sangat kaya dan satu diantaranya akan menjadi yang paling kuat, baik secara ekonomi maupun militer. Orang kuat ini lalu akan mulai merasakan adanya kebutuhan untuk memperkenalkan diri mereka dan kebijakan yang mereka buat kepada masyarakat luas, yang menetap maupun yang sekadar lewat. Lalu prasasti-prasasti pun bermunculan.
Sama seperti Sansekerta yang berasal dari anak benua India, Melayu kuno yang datang dari Sumatra adalah bahasa asing di pulau yang penduduknya menggunakan bahasa Jawa. Prasasti pertama yang mempergunakan bahasa Melayu kuno terdapat di pantai utara Jawa, yang kedua ada di dekat Candi di Kalasan, dan yang terakhir ditemukan di Kota Sragen. Sementara tiga prasasti berbahasa Sansekerta berkumpul di sebelah selatan Gunung Merapi.
Berdasarkan pola ini terlihat bahwa bahasa Melayu kuno dimengerti oleh penduduk berbahasa Jawa sehingga tiga buah pengumuman dalam bahasa asing ini dapat dimengerti oleh warga setempat di tiga wilayah yang berbeda. Orang yang mengeluarkan tiga prasasti Melayu kuno ini berbeda dengan orang yang mengeluarkan prasasti dalam bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa, perbedaan yang akan terlihat jelas di abad berikutnya.
Orang yang terakhir ini adalah orang setempat yang melestarikan tradisi di Jawa tengah yang mengeluarkan prasasti dalam bahasa Sansekerta untuk dibaca oleh masyarakat yang berbahasa Jawa. Hal yang berbeda hanya lokasi berdirinya, jika 150 tahun sebelumnya prasasti berbahasa Sansekerta didirikan di sebelah utara Gunung Merapi, kini berada di sebelah selatannya.
Abad ini juga menjadi saksi yang melihat untuk pertama kalinya dalam sejarah bahasa Jawa dipergunakan di dalam penulisan prasasti. Prasasti ini terletak di Salatiga, nyaris tepat di tengah segitiga imajiner yang dibentuk oleh tiga prasasti berbahasa Melayu kuno.
Pada abad kesembilan terbit tujuh prasasti di Jawa dengan lokasi yang lebih tersebar. Abad ini juga menyaksikan kemunculan prasasti pertama di wilayah Jawa sebelah timur. Dua prasasti berbahasa Melayu kuno muncul bersama dua prasasti dalam bahasa Sansekerta, dua prasasti berbahasa Jawa, dan satu prasasti berbahasa ganda, Sansekerta dan Jawa.
Prasasti dengan dua bahasa ini adalah yang pertama di Jawa dan mungkin didirikan untuk menyajikan pengumuman penting yang harus dipahami oleh masyarakat di lokasi tersebut. Penduduk di tempat itu pastilah berbahasa Jawa sebagai bahasa asli mereka dan mempergunakan bahasa Sansekerta untuk keperluan ritual agama. Letak prasasti dwibahasa ini berdekatan dengan satu prasasti berbahasa Melayu kuno dan satu yang berbahasa Sansekerta.
Kediri menjadi lokasi prasasti pertama di Jawa bagian timur. prasasti ini berbahasa Jawa dan berdiri di barat laut Gunung Kelud, di sebuah dataran yang dialiri banyak anak sungai dari Sungai Brantas, sebuah tempat yang baik untuk mengembangkan pertanian berskala besar. Sungai Brantas dan anak sungainya akan menjadi jalur perdagangan yang sesuai untuk menyalurkan hasil bumi wilayah itu ke berbagai tempat lain di Pulau Jawa, Madura, dan Bali.
Sebagai tambahan, muncul pula sebuah prasasti di bagian utara Pulau Bali. Prasasti ini mempergunakan bahasa setempat, yakni bahasa Bali.
12 buah prasasti muncul di pulau Jawa selama abad kesepuluh berlangsung. 8 buah prasasti terbit di Jawa bagian tengah, tiga lainnya di Jawa timur, dan satu di Jawa barat. 10 prasasti mempergunakan bahasa Jawa kuno, satu berbahasa Sansekerta, dan satu berbahasa Melayu kuno.
Berdasarkan sebaran bahasa, seluruh 10 prasasti yang berbahasa Jawa hanya terbit di bagian tengah pulau Jawa. Bahasa Jawa menggantikan bahasa Sansekerta dan Melayu kuno yang sebelumnya selama dua abad menghiasi prasasti-prasasti disana. Bahasa ritual keagamaan dan perdagangan mungkin telah mempergunakan bahasa Jawa baik secara sukarela maupun paksaan.
Kumpulan prasasti berbahasa Jawa ini diapit oleh dua prasasti dengan bahasa berbeda. Satu yang berbahasa Sansekerta berada di timur dan satu yang berbahasa Melayu Kuno berada di barat.
Abad kesebelas menyaksikan pergeseran lokasi terbitnya prasasti di Pulau Jawa. Setelah tiga abad jawa bagian tengah menjadi pusat terbitnya prasasti, kini sebagian besar prasasti yang ada di pulau itu terbit di Jawa timur. Empat prasasti berbahasa Jawa dan satu dwibahasa Jawa-Sansekerta terbit antara tahun 1001 sampai 1100. Tiga diantaranya terletak mendekati pantai utara Jawa timur sementara satu prasasti lainnya mendekati pantai selatan Jawa timur.
Di luar Jawa timur, hanya terdapat satu prasasti yang terbit, yakni di Jawa bagian barat. Wilayah ini menyaksikan terbitnya prasasti berbahasa Melayu kuno di abad sebelumnya dan kini menerbitkan prasasti berbahasa Jawa kuno.
Berdasarkan data yang tersedia, terjadi pergeseran lokasi terbit prasasti di Pulau Jawa dalam kurun waktu 700 tahun. Pergeseran lokasi ini terjadi dari barat menuju ke arah timur dengan lokasi terpadat berada di bagian tengah Jawa tengah.
Prasasti berbahasa Sansekerta terbit di seluruh bagian Pulau Jawa, baik di pesisir utara, selatan, maupun di pedalaman.
Prasasti berbahasa Melayu kuno terbit di semua bagian pulau kecuali sebelah timurnya. Melayu kuno hadir di terutama di jawa tengah mulai dari pesisir sampai di utara Yogyakarta.
Prasasti berbahasa Jawa adalah yang paling akhir muncul tetapi hadir dari barat sampai ke timur Pulau Jawa. Lokasinya berada di pedalaman dan pesisir selatan jawa. Tidak ada prasasti berbahasa Jawa yang terbit di pesisir atau mendekati pesisir utara pulau Jawa.